Selasa, 08 Maret 2011

OMBUDSMAN R.I. (ORI)

Bahan utk RDP Komisi II DPR RI dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI)

Kinerja 2010
Pada tanggal 17 Februari 2011 anggota baru ORI dilantik dan sebagai ketua adalah Danang Girindrawardana. Azlaini Agus sebagai wakil ketua. Budi Santoso, Ibnu Tri Nurcahyo, Hendra Nurcahyo, Khoirul Anwar, Petrus BP, Pranowo, dan Kartini Istiqomah sebagai anggota. Adapun program jangka pendek pada 100 hari pertama adalah dapat mengatasi permasalahan pelayanan masyarakat dari yang mudah seperti proses pelayanan membuat KTP, STNK, Pendidikan dan tiket kereta.
Sepanjang tahun 2010 Ombudsman telah diakses oleh masyarakat melalui berbagai mekanisme, antara lain lewat surat, datang langsung, website, email, telepon, fax, dan sebagainya. Jumlah keseluruhan akses masyarakat kepada Ombudsman pada tahun 2010 adalah 5942 akses, dengan dominasi akses melalui surat dan datang langsung. Dari keseluruhan akses tersebut, sebanyak 4888 akses berupa pertanyaan dan penyampaian laporan telah diselesaikan secara langsung oleh Ombudsman. Sedangkan sejumlah 1154 akses ditindaklanjuti sebagai laporan kepada Ombudsman yang telah memenuhi syarat formal. Hingga akhir Desember 2010 Ombudsman telah menindaklanjuti lebih dari 98% laporan masyarakat.
Dari 1.154 laporan kepada Ombudsman, instansi yang terbanyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah yaitu 360 laporan (31,21%). Fakta ini menunjukkan kesamaan dengan laporan masyarakat kepada Ombudsman pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan instansi lainnya yang juga banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Kepolisian 242 laporan (20,97%), Lembaga Pengadilan 161 laporan (13,95%), Badan Pertanahan Nasional 97 (8,44%), serta Instansi Pemerintah/Kementerian 89 laporan (7,69%).
Substansi atau permasalahan yang sering dikeluhkan masyarakat biasanya menyangkut kelambatan atau penundaan pelayanan oleh penyelenggara negara, misalnya perijinan yang tidak kunjung dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah, masalah sertifikat tanah yang tidak kunjung dilayani oleh kantor pertanahan, eksekusi putusan pengadilan yang tidak dilaksanakan, tidak adanya perkembangan lebih lanjut terhadap penyidikan oleh pihak kepolisian, dan sebagainya.
Substansi Penundaan Berlarut tersebut mencapai 50,19% dari seluruh laporan masyarakat (579 laporan), diikuti oleh substansi Penyalahgunaan Wewenang sebesar 17,74% (205 laporan), Berpihak 10,15% (117 laporan), Penyimpangan Prosedur 7,78% (90 laporan), Tidak Kompeten 4,65% (54 laporan), Permintaan Uang, Barang dan Jasa 3,98% (46 laporan), Tidak Patut 2,85% (33 laporan), dan Tidak Memberikan Pelayanan 2,66% (31 Iaporan).
Dari seluruh laporan masyarakat yang telah ditindaklanjuti, Ombudsman mencatat tingkat responsivitas yang tinggi dari instansi terlapor terhadap tindak lanjut Ombudsman (lebih dari 77%), baik berupa permintaan klarifikasi maupun rekomendasi. Namun demikian, ada pula rekomendasi Ombudsman yang hingga saat ini masih belum dipatuhi oleh instansi penyelenggara negara.

Penguatan Kelembagaan
Peraturan organik yang menjadi mandat UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik pad a tahun 2010 ini. Dari 7 (tujuh) perangkat organik tersebut, 5 (lima) diantaranya sudah diselesaikan yaitu:
Peraturan Pemerintah tentang Penghasilan, Uang Kehormatan dan Hak lain Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (Pasal 18);
Keputusan Presiden tentang Panitia Seleksi Anggota Ombudsman Republik Indonesia [Pasal 15 ayat (1)];
Peraturan Presiden tentang Sekretariat jenderal Ombudsman Republik Indonesia [Pasal 13 ayat (4)];
Peraturan Ombudsman tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan (Pasal 41);
Peraturan Ombudsman tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Asisten [Pasal12 ayat (3)].

Sedangkan perangkat organik lainnya yang masih dalam proses penyusunan adalah:
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Sumber Daya Manusia pada Ombudsman, saat ini pembahasannya masih terus dilakukan oleh Tim Antar Kementerian di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
Rancangan Peraturan Pemerintah ten tang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman di Daerah, saat ini pembahasannya sudah diselesaikan oleh Tim Antar Kementerian di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, dan masih menunggu pengesahan oleh Presiden Republik Indonesia.

Terkait dengan kelengkapan organisasi, sejak awal 2010 Ombudsman telah memiliki perangkat Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Ombudsman RI berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 71/M Tahun 2010 pad a tanggal 21 Januari 2010. Struktur organisasi Sekretariat Ombudsman RI kemudian berkembang dengan dilantiknya pejabat struktural eselon 2 dan 3 untuk mendukung kegiatan administrasi Ombudsman Rl.
Dampak dari kelengkapan struktur Sekretariat Jenderal Ombudsman tersebut adalah disetujuinya usulan agar Ombudsman RI dapat mengelola keuangannya secara mandiri mulai tahun 2011 dan tidak lagi berada di bawah Sekretariat Negara RI sebagaimana selama ini berjalan.
Pada tahun 2010 Ombudsman telah membentuk 3 (tiga) kantor perwakilan yaitu:
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Jawa Barat, di Bandung, pada tanggal 8 November 2010;
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Jawa Timur, di Surabaya, pada tanggal 17 November 2010;
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, pada tanggal 23 Nopember 2010.
Sebenarnya Ombudsman merencanakan untuk membentuk kantor perwakilan Papua pada tahun 2010, namun terkendala dengan kurangnya sumber daya manusia serta perbedaan biaya yang tinggi dibandingkan daerah lain sehingga anggaran yang telah ditentukan tidak mencukupi.

Anggaran
Pada 2010, Ombudsman mendapat porsi anggaran sebesar Rp. 16 milyar rupiah ditambah Rp 4 milyar (menjadi Rp 20 milyar) melalui anggaran biaya tambahan (ABT 2010).
Realisasi anggaran belanja Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana dikeluarkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sampai dengan Triwulan IV 2010 sebesar 69,84%. Jumlah ini pada dasarnya lebih besar dibandingkan pada tahun lalu yaitu sebesar 55,68%.
Untuk anggaran 2011, ORI mengusulkan kenaikan anggaran menjadi 48 milyar. Kenaikan tersebut diperlukan mengingat banyaknya kebutuhan Ombudsman yang mendesak untuk dikerjakan, salah satunya mandat UU Pelayanan Publik yang mewajibkan Ombudsman membentuk kantor perwakilan di tiap propinsi dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak disahkannya UU Pelayanan Publik. Namun meski usulan tersebut didukung dan mendapat persetujuan Komisi II DPR RI pada kenyataannya tidak terwujud setelah Ombudsman menerima surat dari Kementerian Keuangan RI yang mengalokasikan anggaran dengan jumlah sama yaitu 16 milyar rupiah.


Kerjasama
Pada tahun 2010 ini pula Ombudsman mencatat pengembangan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri Ombudsman dan KPK menjalin kerjasama dan menekankan pentingnya fungsi pencegahan korupsi melalui pemberian pelayanan yang berkualitas oleh instansi penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Selain itu kerjasama dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya melindungi hak-hak narapidana dan penghuni rumah tahanan tetap berjalan, salah satunya melalui Rapat Koordinasi dengan instansi penegak hukum di jakarta dan Sumatera Utara. Rapat Koordinasi juga dilakukan dengan pihak Kementerian Dalam Negeri mengingat selama beberapa tahun terakhir laporan masyarakat yang terbanyak adalah terkait kinerja Pemerintah Daerah.
Di tingkat internasionai. pada awal tahun 2010 Ombudsman RI telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Anti-Corruption and Civil Right Comission (ACRC) Korea Selatan terkait perlindungan hak-hak sipil kedua negara. Nota Kesepahaman tersebut member kesempatan bagi warga Indonesia di Korea maupun warga Korea yang berada di Indonesia dapat menyampaikan keluhan terkait pelayanan publik kepada Ombudsman RI maupun ACRC di negara tempat mereka tinggal.


Beberapa Pertanyaan
Terkait program jangka pendek pada 100 hari pertama ORI yang baru, yakni proses pelayanan membuat KTP, STNK, Pendidikan dan tiket kereta, saat ini sudah hampir satu bulan. Bagaimana perkembangan program 100 hari ORI?
Menilik data kinerja tahun 2010 ada sebanyak 1.154 laporan yang diterima Ombudsman atau rata-rata ada lebih dari 95 laporan perbulan. Jumlah ini memang relatif rendah, namun jangan senang dulu karena menurut saya ini fenomena gunung es, sejatinya masih banyak keluhan masyarakat terkait pelayanan publik yang belum atau tidak dilaporkan. Bagaimana strategi untuk memperkuat keberadaan dan meningkatan kinerja ORI? Krusial poin dari tindaklanjut pengaduan masyarakat adalah respon dari penyelenggara pelayanan public terhadap rekomendasi ORI, padahal ada kecenderungan mengabaikan dari penyelenggara pelayanan publik. Bagaiman agar rekomendasi ORI direspon baik oleh penyelenggara pelayanan publik?
Pasal 46 UU Nomor 37 Tahun 2008 menyebutkan ombudsman hanya ORI, padahal sebelum ini lahir (disahkan pada Paripurna DPR 8 September 2008) dan sebelum ORI memiliki perwakilan di daerah, sudah ada Ombudsman swasta dan bentukan pemerintah daerah di daerah. Akankah ORI akan mengeliminasi keberadaan ombudsman swasta? Apa tanggapan ORI terkait keberadaan Ombudsman swasta yang ada? Bagaimana mensinergikan dan mengintegrasikan Ombudsman Swasta dengan ORI?
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada dua payung hukum yang melandasi ORI yakni UU 37 tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Apakah dengan dua payung hukum diatas sudah cukup memadai untuk memberikan kekuatan hukum bagi ORI untuk membantu menciptakan pelayanan public yang semakin optimal? Catatan apa saja dari kedua UU tersebut, yang menurut Saudara perlu diperbaiki dalam rangka memperkuat ORI?
Anggaran ORI 2011 nyaris sama dengan anggaran 2010, walaupun DPR sudah berupaya maksimal untuk mendukung peningkatan alokasi anggaran untuk ORI, terkait dengan anggaran tersebut, bagaimana tanggapan ORI? Apa yang menjadi prioritas program ORI dengan dana tersebut? Bagaimana juga upaya ORI meningkatkan realisasi anggaran 2011?
CATATAN: Baru-baru ini Ombudsman Makassar mangajukan judicial review atas Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI tidak hanya mengancam eksistensi ombudsman daerah. Pasal 46 UU tersebut juga mengancam keberadaan lembaga ombudsman yang ada pada sejumlah media cetak dan elektronik di Indonesia. Dalam pasal 46 tersebut disebutkan bahwa semua lembaga yang bernama ombudsman di luar yang diatur UU harus berganti nama. Pergantian nama tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sejak UU Nomor 37 Tahun 2008 tersebut berlaku. Berarti sejak dari tahun 2011 sudah tidak ada lagi nama yang menggunakan kalimat ombudsman. Dengan demikian apabila ada pengaduan kepada ombudsman di daerah, apakah pengaduan itu tetap bisa ditindak lanjuti atau bagimana saudara memandang judicial review atas UU Tentang Ombudsman RI ini. ada beberapa keganjilan dalam pasal 46 tersebut. Jika ombudsman daerah dianggap tidak sah, maka pengaduan yang masuk ke sana bisa juga disebut pengaduan tidak sah. "Apakah memang ada pengaduan tidak sah? kemudian semua orang punya hak mengadu untuk mencari solusi atas persoalannya kepada lembaga yang mereka percaya. Bagaimana tanggapan saudara? Dan apa solusi yang saudara tawarkan untuk melakukan pembangunan Ombudsan kedepan?
 

" Lembaga Ombudsman RI mempunyai tugas dan wewenang sesuai UU Nomor 37 tahun 2008 adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintahan, BUMN, BUMD, BHMN, Badan swasta atau perseorangan. Tugas ORI sangat berat dan pasti terjadi benturan dengan penyelenggara pemerintahan. Ini semaki berat karena walaupun sudah ada sejak tahun 2000 (Komisi Ombudsman), namun masih banyak kelompok masyarakat (termasuk aparat pemerintah yang diawasi) belum tahu dan paham apa itu Ombudsman. Kondisi ini tentunya menempatkan Ombudsman pada posisi yang sulit, disatu sisi pasti akan bersinggungan dengan para penyelenggara pelayanan publik dan disisi lain para penyelenggara pelayanan publik tidak tahu dan tidak paham akan keberadaan Ombudsman. Apa langkah-langkah saudara terhadap kondisi ini dan apa yang akan Saudara lakukan untuk memperkuat eksistensi Ombudsman?
" Apa strategi saudara? dalam mensosialisasikan Ombudsman kepada masyarakat banyak, agar lembaga ombudsman ini dapat berjalan dengan sesuai harapan. Mengingat, banyak masyarakat yang tidak tahu dengan peran penting Ombudsman dalam peran perubahan yang lebih baik dalam reformasi birokrasi.
 

KESIMPULAN RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI II DPR RI DENGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA. (Masa Persidangan III Tahun Sidang 2010-2011) SENIN, 7 MARET 2011
1. Dalam rangka mendukung dan mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik dari para penyelenggara pelayanan publik baik instansi Pemerintah, BUMN, BUMD, Badan Hukum Milik Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang menjalankan penyelenggaraan pelayanan publik,. Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Repbulik Indonesia untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Repbulik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, utamanya dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan, penguatan pengawasan, pembinaan, penyadaran, dan sosialisasi keberadaan Ombudsman Republik Indonesia.
2. Untuk meningkatkan standar pelayanan Ombudsman Repbulik Indoesia dalam menyelesaikan setiap laporan dan pengaduan masyarakat, serta inisiatif investigasi, Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Republik Indonesia agar terjun langsung dalam permasalahan yang penting serta menyangkut kepentingan dan perhatian publik, sehingga keberadaan dan peran Ombudsman Republik Indonesia dirasakan langsung oleh masyarakat.
3. Terhadap tindak lanjut laporan pengaduan dan keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pnyelenggara pelayanan publik, Komisi II DPR RI meminta kepada Ombudsman Republik Indonesia agar secara akif mengawal dan meningkatkan kualitas rekomendasi dalam penyelesaian permasalahan pelayanan publik. Untuk meningkatkan sinergi antara DPR RI dan Ombudsman RI, Komisi II DPR RI meminta agar seluruh rekomendasi yang diterbitkan oleh Ombudsman RI ditembuskan ke Komisi II DPR RI agar optimalisasi pengawasan lebih efektif.
4. Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan penguatan institusi, perbaikan sistem pengelolaan sumber daya, serta melakukan terobosan baru melalui program-program unggulan yang dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat.
5. Terkait dengan usulan anggaran tambahan sebesar Rp 31.700.026.250,- (tiga puluh satu miliar tujuh ratus juta dua pluh enam ribu dua ratus lima puluh rupiah) yang diajukan oleh Ombudsman Republik Indonesia untuk memenuhi kebutuhan anggaran Tahun 2011, Komisi II DPR RI setuju untuk dapat dipenuhi melalui mekanisme APBNP Tahun 2011 sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6. Komisi II DPR RI meminta secara khusus kepada Ombudsman Republik Indonesia agar meningkatkan pengawasan pelayanan publik, utamanya terhadap pelaksanaan E-KTP, Pertanahan, pelaksanaan seleksi CPNS, serta transportasi umum (seperti kemacetan di DKI Jakarta).

KUNKER KOMISI II DPR RI di PERBATASAN RI-PNG Kab MERAUKE PROV PAPUA

CATATAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI II KE PERBATASAN RI-PNG DI KABUPATEN MERAUKE PROV PAPUA ( 3-4 Maret 2011 )

Fakta Umum
Panjang Wilayah Perbatasan darat RI-PNG mulai dari MM. 1 s/d MM. 14 A (Wutung, Jayapura s/d Muara Bensbach, Merauke) sekitar 760 Km, ditandai dengan 52 Tugu/Pilar batas (Nama tugu/pilar batas terlampir)
Kabupaten/Kota di Provinsi Papua yang berbatasan darat dengan adalah Papua New Guinea : 
1. Kabupaten Keerom
2. Kabupaten Pegunungan Bintang.
3. Kabupaten Merauke.
4. Kabupaten Boven Digoel
5. Kota Jayapura.
>> Jumlah Pos Lintas Batas yang sudah ada:
Kantor Pos Pelaporan Lintas Batas Darat di Skouw Distrik Muara Tami Kota Jayapura, petugasnya adalah Imigrasi, Bea Cukai, Karantina dan POLRI.
Kantor Pos Pelaporan Lintas Batas Laut di PPI Hamadi Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura, adalah Imigrasi, Bea Cukai, Karantina dan POLRI.
Kantor Pos Lintas Batas Darat Sota di Distrik Sota Kabupaten Merauke, petugasnya adalah Imigrasi, Bea Cukai dan POLRI.
Dalam tahap pembangunan, adalah kantor pos lintas batas di Kondo Distrik Merauke Kabupaten Merauke dimana baru terisi petugas imigrasi.
Sarana jalan dan alat transportasi dari Provinsi/Kabupaten/Kota yang menuju perbatasan masih sangat kurang, sampai saat ini jalan yang sudah ada dan bisa ditempuh lewat darat hanya dari Kabupaten/Kota ke perbatasan adalah Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke dan Kota Jayapura.
Potensi Konflik di daerah perbatasan antara RI-PNG karena:
Daerah Perbatasan sering dijadikan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum baik di wilayah RI maupun PNG yang sementara ini sebagian besar dari RI ke PNG.
Adanya pelintas batas illegal yang masuk ke wilayah PNG dan tidak mau kembali karena alasan politik antara lain kelompok pengacau keamanan
Seringnya terjadi pelanggar batas laut yang dilakukan oleh para nelayan WNRI yang memasuki negara lain tanpa dokumen yang lengkap, dimana mereka mencari ikan di luar perairan RI antara lain disebelah utara dan selatan perbatasan.
Adanya barang-barang selundupan yang masuk ke wilayah RI misalnya ganja maupun barang lain.
Adanya tanah hak ulayat penduduk PNG yang berada diwilayah Indonesia dan sebaliknya. 
Adanya penduduk yang mengaku WNPNG dan berdiam di wilayah RI, kasus Warasmol dan kasus Marantikin di kabupaten Pegunungan Bintang.
Empat distrik di Merauke yang berbatasan langsung dengan PNG:
Distrik Sota,
Distrik Ulilin,
Distrik Eligobel
Distrik Nokenjerai


Beberapa Pertanyaan
Beberapa permasalahan yang terjadi di daerah perbatasan diantaranya pelarian warga ke PNG, keterisolasian, kemiskinan, tidak ada pendidikan yang memadai, tidak ada pusat kesehatan masyarakat, persediaan kebutuhan pokok terbatas, dan masyarakat masih hidup berpindah-pindah. Ini tentunya pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah daerah. Dan dapat dipastikan pembangunan wilayah di sepanjang perbatasan Papua-PNG sangat panjang, tidak dapat ditangani pemerintah daerah kabupaten sendiri. Terkait dengan itu:
Bagaimana kondisi masyarakat di 4 distrik yang berbatasan langsung dengan PNG?
Apa yang menjadi permasalahan utama didistrik-distrik tersebut?
Apakah Pemerintah Kabupaten Merauke memiliki design pembangunan wilayah perbatasan?
Bagaimana pola dan mekanisme pembangunan wilayah perbatasan yang melibatkan pemerintah pusat yang diinginkan oleh Pemerintah Kabupaten Merauke?

Pada 2011 dan 2012 BNPP akan garap 12 provinsi (cakupan wilayah administrasi), 25 kabupaten/kota (wilayah konsentrasi pengembangan), 39 kecamatan yang merupakan lokasi prioritas. Kecamatan tersebut di antaranya Entikong dan Paloh di Kalimantan Barat, Kayan Hulu dan Sebatik Barat di Kalimantan Timur, Insana Utara dan Bikomi Utara di Nusa Tenggara Timur, Miangas di Sulawesi Utara, dan Merauke di Papua. Pembangunan di kecamatan di kawasan perbatasan itu meliputi pembangunan infrastruktur seperti, jalan yang menyambungkan kecamatan dengan kabupaten/kota, pasar tradisional, penyediaan air bersih, dan pembangunan gedung-gedung sekolah dasar. Selain pembangunan infrastruktur, BNPP juga menargetkan pelaksanaan koordinasi untuk menyelesaikan segmen batas wilayah yang masih bermasalah, serta pembangunan pos-pos lintas batas secara bertahap pada 2011-2012.
Bagaiman pendapat dan tanggapan pemerintah Kabupaten Merauke terhadap rencana BNPP ini?
Untuk di Merauke, kecamatan mana yang menjadi prioritas untuk dibangun oleh BNPP?
Pembangunan infrastruktur apa yang menjadi prioritas di Merauke?

Penembakan terhadap dua anggota kelompok bersenjata di Kampung Nasem, Merauke, Papua, Jumat (14/1) pagi, terjadi setelah pelaku penyerangan mencuri senjata milik prajurit Pos Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) RI-PNG Batalyon Infantri 132/Bima Sakti.
Apa yang menjadi pokok permasalahan sehingga muncul penyerangan terhadap pos penjagaan perbatasan?
Adakah usulan Pemkab Merauke untuk melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pendukung pos penjaga perbatasan?

Baru-baru ini terjadi polemik tentang terhambatnya transportasi udara menuju kawasan perbatasan, Apau Kayan, Kabupaten Malinau. Masalah ini disebabkan karena proses penentuan pesawat untuk transportasi warga ke perbatasan ditentukan oleh pusat. Lelang pun dilakukan Kemenhub.  
Apa pendapat Pemkab Merauke terhadap permasalahan ini?
Apakah setuju bila proses penentuan pesawat untuk transportasi perbatasan ditentukan oleh Pemkab, bukan oleh pusat?

Catatan dr Dialog Komisi II dgn masyarakat perbatasan di Distrik SOTA
Air rawa biru
- masyarakat pribumi
- masyarakat .kanume blm Ada sarjana usual ketua komisi agar bupati buat program khusus krn di Merauke Ada universities....
-165 kampung..... 1 M perkampung
KS dgn Surya di karawaci
- th 2011 di Merauke penddkan gratis
- perumahan utk para guru dn para medis disiapkan
- dialog warga kampung: 1.- persoalan pelintasbatas dr ke2 negara, tp yg paling tinggi dr PNG..Usul bangunkan rumah singgah utk mereka.
Masalad desa terluar: tambahan usul kampung yg terdekat dgnprerbtsan di bangun sbg tears nkri, jg jalan agar rakyat bs mengakses dr kampungke distrik, diberikan kendaraan bagi penjaga pos sbg kalo Ada rapt koordinasi bs cpt dtg.
2. Yacob Bambu...man tan kepala kampung: jg ketua gabustam11 org
- tanah ulayat Ada, tp pembangunan hutan lindungan Ada disini yg dilaksanakan tp sec sepihak o/ pusat tanpa pemberitahuan dr warga... Warga kaget.
.....kembalikan sebahagian hak kami ?????? Daripada membiayai 1 kampung 1 M itu sebenarnya tdk Ada artinya. Artinya...?..
3. Kalvin: - SMK tdk Ada tagihan utk wkl bupati
- clearkan di perbatasan, org2 di PNG bebas bw minyak diluar batas aturan (20 liter) lewat jalan2 tikus bw berton2 mink. - mbl patroli yg tinggi jgn yg penned. -
Kepala distrik Nokenjerai: jalan dn jembatan rusak. Kendaraan operarasional utk kepala2 Distrik rod a 4 dn staf rod a 2
3. Pemekaran wil di kabulkan....

Kawasan Taman Nasional blh dikelola o/ masyarakat ... Ada hak2 ulayat jg boleh o/ masyarakat adat
- perbedaan batas neg dn batas adat

4. Dr Imigrasi: ttg lint's batas....pos....yi. Pos satu tap yg dibangun o/ pemda tp blm diaktifkan bersama2 dgn dr imigrasi, karantina dll
Pembangunan Imam sgt diperlukan. Mis.. Gereja pembangunannya


KESAMAAN BUDAYA DI PERBATASAN PAPUA – PNG
 
" Kesamaan adat, suku, bahasa, agama, hak ulayat, kekerabatan, dan hubungan ekonomi antara penduduk Indonesia di perbatasan Papua dan PNG merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri dan harus diposisikan sebagai asset bagi hubungan harmonis kedua Negara.
 
" Di Merauke paling tidak ada empat suku yang berbatasan langsung dengan PNG dan memiliki kesamaan budaya, yakni:
1. Suku Marind
2. Suku Kanum
3. Suku Yey
4. Suku Muyu
 
" Disatu sisi, kesamaan dan hubungan budaya yang erat dapat menjadi factor perekat, tapi disisi lain bila ditarik pada aras politik (apalagi gerakan politik) hal ini bisa menjadi potensi kendala. Soal GPK misalnya, masyarakat dalam posisi sulit, dengan kesamaan budaya atau bahkan suku, membantu GPK diartirkan sebagai membantu saudara sesuku. Sebaliknya membantu GPK artinya juga melawan aparat keamanan. Dan ini sangat mungkin terjadi, artinya mereka bukan dalam konteks politik “membantu” para GPK.
" Strategi social budaya dalam pembangunan daerah perbatasan harus menjadi prioritas yang didukung dengan pembangunan infrastruktur".
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Pengaturan soal lintas batas yang tidak saja menitikberatkan pada aspek hukum formal tetapi juga memperhatikan kesamaan dan keunikan budaya setempat.
b. Pendekatan yang harus dilakukan adalah menguasai bahasa dan budaya masyarakat di perbatasan. Ini berkaca kepada keberhasilan para misionaris menyebarkan agama di Papua.
c. Tidak menempatkan kesamaan budaya serta suku di perbatasan sebagai potensi konflik atau mengganggu keamanan tetapi lebih sebagai asset yang harus dipelihara dan dikembangkan.

CATATAN:
Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki kawasan perbatasan wilayah darat (kontinen) dan laut (maritim). Pulau kecil yang tersebar di seluruh perairan nusantara, selama ini dipublikasikan sebanyak 17.508 pulau. Kawasan perbatasan wilayah darat dengan 3 (tiga) negara: Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan wilayah laut (maritim) dengan 10 negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Timor Leste, Papua Nugini (PNG), Australia, Republik Palau dan India.

Kawasan perbatasan wilayah Indonesia pada dasarnya menunjukkan dua fenomena besar. Pertama, kondisi kehidupan sosial ekonomi, budaya dan keamanan yang masih sangat terbatas di dalam kawasan perbatasan itu sendiri. Kedua, kondisi pengelolaan perbatasan wilayah Indonesia–Negara tetangga masih perlu penataan dan pengelolaan lebih intensif karena mempunyai permasalahan dan persengketaan tentang penetapan batas wilayah.

Selama beberapa puluh tahun ke belakang kawasan perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius, dilakukan tidak optimal dan kurang terpadu, tarik-menarik kepentingan sektoral dan horizontal. Sebagian besar kawasan perbatasan merupakan “kawasan tertinggal “, prasarana, sarana dan utilitas umum sangat terbatas, perumahan dan permukiman yang tidak layak huni, dan jarang penduduk. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan di kawasan padat penduduk, akses mudah dan potensial.
Kawasan perbatasan juga merupakan cerminan dari tingkat kemakmuran antara dua negara. Tidak jarang kawasan ini menjadi ajang konflik antara penduduk berbeda kewarganegaraan karena tujuan tertentu. Negara tetangga seperti Malaysia (Sabah dan Sarawak) secara ekonomi jauh lebih maju. Perbedaan kondisi sosial ekonomi dapat menimbulkan sejumlah efek negatif cenderung merugikan Indonesia. Sebagai misal, “pemanfaatan” sumber daya alam oleh negara tetangga tanpa kompensasi dan kewajiban memadai, dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maupun gangguan terhadap kehidupan penduduk. Bahkan, kehidupan sosial ekonomi beberapa kawasan perbatasan Indonesia sangat bergantung pada kegiatan ekonomi Negara tetangga (Contoh : di perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan). Hal ini berpotensi mengundang kerawanan politik, keamanan dan merendahkan martabat bangsa.

Kawasan perbatasan sering kali merupakan wilayah pembelahan kultural komunitas dianggap berasal dari satu akar budaya yang sama. Namun, kebijakan pemerintah dua negara bertetangga, akhirnya menjadikan dua entitas berbeda. Hal ini tentu perlu menjadi kajian tersendiri oleh pemerintah, mengingat perbatasan menjadikan dua entitas berbeda terjadi karena adanya Negara, sedangkan secara kultural dan adat istiadat merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan oleh batas Negara, sehingga terjadi klaim sepihak.

Di masa lalu, terdapat pandangan bahwa kawasan perbatasan perlu diawasi ketat karena menjadi tempat persembunyian pemberontak (semasa era reformasi diklaim lintas kaum teroris internasional). Pandangan ini menjadikan paradigma pengelolaan kawasan perbatasan lebih mengutamakan pendekatan keamanan (security approach) ketimbang pada kesejahteraan rakyat (social warfare). Hal inilah yang harus dikaji secara menyeluruh sehingga sebuah kebijakan tidak berdasarkan desakan waktu atau kebutuhan pusat semata.

Dari segi keamanan dan pertahanan, ditandai minimnya sarana dan prasarana. untuk itu, aktivitas aparat masih belum optimal pengawasan kontinen dan maritim juga lemah. sering kali terjadi pelanggaran batas wilayah oleh masyarakat kedua negara tetangga.
Bahkan, masih terdapat masalah:
1. Belum jelas dan tidak tegas garis batas kontinen dan maritim;
2. Masih kerap terjadi nelayan kedua negara melanggar batas wilayah negara;
3. Terdapat pelintas batas tradisional akibat hubungan kekerabatan, kesamaan adat dan budaya kedua negara.
Banyak aturan atau kebijakan tumpang tindih, dan tidak sedikit menimbulkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Batas wilayah Negara adalah manifestasi kedaulatan territorial suatu Negara. Batas wilayah ditentukan proses sejarah, politik, dan hubungan antar Negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional. Penanganan masalah dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi berbagai kepentingan dan keperluan, baik Pemerintah, Masyarakat madani maupun pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan strategi memiliki sasaran antara lain peningkatan kordinasi dan sinerji berbagai lembaga Negara (multisektor dan lintas kementerian) secara bersama untuk melakukan pengelolaan dan penatan kawasan perbatasan.

Masalah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, yakni sejumlah kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk terdapat di kawasan perbatasan dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, kemudian berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari. Kendala kultur ini menimbulkan salah pengertian. Sehingga perlu adanya kajian sosiologis dan antropologis sehingga dapat diambil kebijakan yang sesuai dengan kultur setempat dengan tetap menjaga batas Negara tanpa memutus hubungan kultural.

"PERAN PEREMPUAN DALAM DEMOKRASI"

BEBERAPA CATATAN PEREMPUAN DAN POLITIK

 

Tabel 1
PROSENTASE PEREMPUAN DI DPR DARI MASA KE MASA
 

Periode
Perempuan
Laki-laki
 
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
1950-1955 (DPRSementara)
9
3,8
236
96,2
1955-1960
17
6,3
272
93,7
Konstituante :1956-1959
25
5,1
488
94,9
1971-1977
36
7,8
424
92,2
1977-1982
29
6,3
431
93,7
1982-1987
39
8,5
421
91,5
1987-1992
65
13,0
435
87,0
1992-1997
65
12,5
435
87,5
1997-1999
54
10,8
446
89,2
1999-2004
45
9,0
455
91,0
2004-2009
65
11,8
485
89,3
 

Mengapa Perempuan harus terlibat di Parlemen (Politik)
1. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri.
2. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat
3. Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
 
Keterwakilan Perempuan dalam Sistem Pemilu
1. Distrik
Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif(caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya, sehingga caleg bertanggungjawab langsung ke pada pemilih
Caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain
2. Proporsional 
Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol
Sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil.
3. Campuran 
Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg.
 
 
Belajar dari India (Sistem Reservation Seats)
• Laporan Serikat Parlemen Sedunia menyatakan bahwa kaum perempuan India hanya memegang
• 7.2 persen kursi di Parlemen Rendah dan 7.8 persen kursi di Parlemen Tinggi. Perwakilan mereka tidak pernah melampaui 9 persen di dalam parlemen, 10 persen di Majelis Negara Bagian, dan 15 persen di Dewan Menteri.
• Amandemen ke-73 Konstitusi India memberikan penyisihan setidaknya sepertiga kursi untuk kaum perempuan sebagaimana juga untuk kedudukan ketua panchayat di segala tingkat, baik desa, distrik, dan pertengahan. Undang-undang untuk menyisihkan sepertiga dari keseluruhan kursi kepada perempuan dilaksanakan di tingkat panchayat dan zilla parishad di semua negara bagian di India tanpa perlawanan dari partai politik manapun juga.
• Akibat pelaksanaan RUU Panchayati Raj selama tiga tahun setelah negara-negara bagian mengesahkannya sesuai dengan amandemen Konstitusional ini, satu juta perempuan terpilih untuk duduk di dalam badan-badan setempat. Di banyak negara bagian, mereka bahkan melampaui kuota itu, misalnya di Karnataka, kaum perempuan adalah 47 persen dari anggota panchayat yang terpilih. Nyatanya, penyisihan sepertiga kursi kaum perempuan di dalam badan legislatif merupakan bagian dari suatu perubahan besar di dalam sistem itu.
• Sistem yang berlaku adalah sistem reservation seats di mana terdapat proses rotasi sebanyak sepertiga dari kursi parlemen yang ditujukan bagi kelompok-kelompok marjinal termasuk kaum perempuan.
• Dampak positif dari reservation seats di India adalah:
1. Demokrasi India secara keseluruhan menjadi lebih partisipatoris.
2. Persepsi diri kaum perempuan India mengalami perubahan menjadi lebih positif.
3. Pergerakan perempuan India menjadi lebih berpengaruh di dalam sistem politik India.
 
• Di lain pihak terdapat kendala-kendala setelah diberlakukannya reservation seats bagi kaum perempuan di pedesaan:
1. Pendanaan bagi calon perempuan tidak mudah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
2. Kaum perempuan harus memasuki partai politik untuk dapat bersaing di dalam pemilihan umum.
 
• Adapun usulan-usulan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut adalah:
1. Kaum pergerakan perempuan India perlu membentuk Dana Nasional Perempuan untuk membantu pendanaan bagi para calon perempuan.
2. Perlu dipilih partai politik-partai politik yang memiliki agenda dan platform yang berkesetaraan jender.
3. Diperlukan pemikiran konseptual dan strategi implementasi dari suatu kebijakan tata kelolapemerintahan bagi kaum perempuan (local governance for women).
4. Diperlukan adanya kebijakan nasional bagi pemberdayaan kaum perempuan India.
 
 
 
Strategi Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan
 
1. Dukungan Konstitusi
Untuk memperkuat partisipasi politik perempuan, maka satu hal yang amat penting untuk mendapat perhatian adalah adanya jaminan dari konstitusi yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi peranserta perempuan dalam berbagai bidang. Penerapan reservation seats (seperti di India) merupakan salah satu alternative yang dapat meningkatkan partisipasi politik secara signifikan. Berbeda dengan India, penerapan reservation seats di Indonesia dilakukan ditingkat pusat dulu.
 
2. Net –Working (jaringan)
Perempuan parlemen tentu saja tidak dapat bekerja efektif tanpa didukung oleh sebuah system net-working yang akan mendukung berbagai kegiatan mereka.
 
3. Data/informasi tentang status perempuan
Memiliki data dan informasi yang konkrit dan terpilah adalah suatu keharusan bagi partisipasi politik perempuan. Hal ini bukan saja untuk memberikan arah dalam mempekenalkan aturanaturan atau undang-undang baru atau mengamandemen aturan-aturan dan undang-undang lama, tetapi juga untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap suatu usulan. Bila perempuan memiliki data yang lengkap akan lebih mudah meyakinkan pihak-pihak lain untuk menerima usulan atau ide yang ditawarkan.
 
4. Anggota Parlemen perempuan harus menjadi model
Anggota parlemen perempuan seharusnya juga dapat menjadi narasumber tentang berbagai hal khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan perempuan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu perlu peningkatan kualitas anggota parlemen perempuan secara berkelanjutan.
 
5. Kesadaran akan kebutuhan konstituen
Suatu kekuatan yang harus dimiliki oleh anggota parlemen perempuan adalah memperoleh kepercayaan dari konstituennya. Oleh karenanya mereka harus mempererat hubungan dengan konstituennya dengan melakukan berbagai cara, misalnya:
a. Sering mengunjungi dengan konstituen
b. Berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan konstituen dan meresponnya dengan baik, sehingga konstituen dapat merasakan bahwa suara yang diberikan benar-benar jatuh kepada orang yang tepat.

Sabtu, 04 Desember 2010

"Catatan Seputar Jogyakarta"

CATATAN SEPUTAR KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
 
• Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam:
1. Kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940;
2. Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945;
3. Amanat 5 September 1945;
4. Amanat 30 Oktober 1945;
5. Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949;
6. Penjelasan pasal 18,UUD 1945;
7. Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945;
8. Pasal 2, UU NO. 3/1950;
9. Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
 
• Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti-bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
 
• Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut-larut disebabkan oleh:
1. Manuver politik Sultan yang bertahta terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan, sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional.
2. Setiap produk undang-undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, dan UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal-usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2).
3. Pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas.
4. Ketidakpahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI.
5. Perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam-diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila.
6. Proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
 
 
Perjalanan Sejarah DIY
 
• Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
 
• Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
• Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
• Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
• Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
• Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
 
• Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.
 
• Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
• Perubahan yang cukup penting pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten, yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
 
• Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga BUKAN merupakan monarki konstitusi.
 
• Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII.
 
• Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
 
• Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
 
• Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
• Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
 
• Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh  dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
 
• Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
 
• Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.
 
• Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.
 
• Pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.
 
• Terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010), menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
 
 
Aspirasi Rakyat Yogyakarta
 
• Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta.
• Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.
 
• Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
 

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tanggapan terhdp bbrp masalah

Tanggapan terhadap Tembusan Surat DPRD Provinsi Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri mengenai kejelasan  status, hak dan kewajiban.

 

Fakta:

1. Pengaturan mengenai DPRD Provinsi memang mengalami kerancuan. Dalam rezim UU tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 19 ayat 2), DPRD diposisikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan Pemerintah Daerah artinya DPRD merupakan bagian dari eksekutif. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, artinya DPRD diposisikan sebagai legislatif sekaligus (unsur) eksekutif.
2. Begitu pula dalam rezim UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pada Pasal 291 DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah (dengan fungsi-fungsinya) yang juga berkedudukan sebagai unsur penyelengara pemerintahan daerah.
3. Kondisi ini menyebabkan posisioning DPRD menjadi ambigu antara pejabat daerah (ekuivalen dengan pejabat Negara seperti DPR) atau pegawai daerah (pegawai Negara).  Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing terkait masalah keuangan, sarana, dan protokoler.  
4. Keambiguan ini juga berdampak pada peraturan turunan dari undang-undang yang mengatur  DPRD. Ini terbukti terjadi pada PP 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang cenderung menempatkan DPRD sebagai pegawai Negara/daerah.
 

Rekomendasi:

5. Terkait dengan tembusan surat dari DPRD Provinsi Jawa Barat, tanggapan Fraksi Gerindra DPR RI adalah:
a. Memahami kondisi yangdialami DPRD dan mendukung upaya DPRD untuk meminta Kemendagri membuat peraturan yang jelas terkait dengan posisi anggota DPRD dalam rangka menjamin kepastian hokum.
b. Menindaklanjuti dengan mempertanyakan dan menegaskan permasalahan ini dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri.
c. Surat DPRD Provinsi Jawa Barat ini akan menjadi masukan dalam penyusunan revisi undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
d. Perlu dilakukan forum kordinasi nasional antar fraksi GERINDRA DPR RI dengan fraksi GERINDRA DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia sebagai wadah komunikasi Fraksi GERINDRA SE-INDONESIA.
   



 

Tanggapan terhadap surat Persatuan Perangkat Desa Indonesi (PPDI)

 

Fakta:

1. Rancangan Undang-Undang tentang Desa masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2010.
2. Pasal 202 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bawa Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
3. PPDI menolak diskriminasi antara sekretaris desa (yang PNS) dengan perangkat desa lain.
 

Rekomendasi:

4. Ide dasar dari Pasal 202 ayat (3) yang menempatkan Sekretaris Desa dari PNS ini lebih didasarkan agar tercipta manajamen administrasi pemerintahan desa yang teratur dan terstandarisasi. Karenanya dibutuhkan manajer kantor pemerintahan desa, sama seperti halnya Sekda di Kabupaten/Kota. Ini kemudian diejawantahkan dengan dilakukannya pengangkatan Sekdes menjadi PNS yang kedepannya semua Sekdes adalah PNS.
5. Terkait dengan surat PPDI tersebut, Fraksi GERINDRA direkomendasikan untuk:
a. Menerima dan memperhatikan dengan baik usulan dari PPDI terkait dengan rencana pembahasan RUU tentang Desa.
b. Masukan dari PPDI dan dari stake holder pemerintahan desa lainnya akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi Fraksi Gerindra dalam pembahasan RUU tentang Desa.
c. Perlu kordinasi dengan fraksi lain dalam rangka penyikapan usulan ini. Kalaupun perlu tanggapan tertulis, wording-nya seperti Fraksi PKS.


 

Tanggapan terhadap Surat Penolakan SPPBE oleh Warga Desa Mandalawangi, Cipatat, Bandung.

 

Fakta:

1. Akan dibangun Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) di Kampung Kiara, Desa Mandalawangi, Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
2. SPPBE dibangun diatas lahan sawah produktif seluas 1,5 hektare dan berada dikawasan pemukiman penduduk yang padat.
3. Warga Desa Mandalawangi merasa tidak aman dengan rencana pembangunan SPPBE ini, selain juga warga merasa tidak dilibatkan dalam rencana tersebut.
4. Pemerintah Kecamatan Cipatat telah menghentikan sementara pembangunan SPPBE sejak awal Agustus 2010 karena perizinan yang belum lengkap dan adanya penolakan dari warga sekitar.
 

Rekomendasi:

5. Pembangunan tempat usaha dalam berbagai bentuknya, apalagi SPPBE, harus mendapatkan izin, melibatkan dalam proses pembangunan SPPBE, dan memberikan kesempatan warga sekitar untuk menjadi pekerja dalam SPPBE tersebut, sehingga keberadaan tempat usaha atau SPPBE memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
6. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan alasan apapun sedemikian rupa harus dihindari. Pemaksaan konversi lahan pertanian harus ditolak secara tegas mengingat dampaknya pada ketersedian pangan dikemudian hari.
7. Fraksi Gerindra DPR RI direkomendasikan untuk:
a. Mendukung upaya penolakan penggunaan lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian yang dilakukan oleh warga Desa Mandalawangi.
b. Fraksi atau anggota DPRD Gerindra di DPRD Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Bandung Barat harus proaktif menangani masalah ini dengan supervise dari anggota Fraksi Gerindra DPR RI Dapil Bandung Barat.  


 

Mediasi Sengketa Tanah di Gunung Kempeng, Bontang, Kalimantan Timur

 

Fakta:

1. Kelompok Tani Gunung Kempeng mengklaim tanah dengan luas ratusan hektar yang kini dikuasai PT Pupuk Kaltim tanpa mendapatkan ganti rugi sedikit pun.
2. Tanah tersebut merupakan tanah ulayat yang dijadikan menjadi tanah Negara kemudian dikuasai oleh PT Pupuk Kaltim.
3. PT Pupuk Kaltim berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan.
4. Pada 15 Juni 2010, kelompok kerja Pertanahan Komisi II telah melakukan kunjungan kerja ke Bontang dan membantu melakukan mediasi terhadap masalah sengketa tanah ini.
 

Rekomendasi:

5. Mediasi untuk mendapatkan win-win solution harus dikedepankan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
6. Karena kelompok kerja pertanahan sudah melakukan kunjungan kerja ke Gunung Kempeng, maka kalau pun ada kunjungan kerja ke lokasi yang sama dilakukan oleh satu dua orang anggota saja. Kunjungan kerja II ini lebih ditekankan untuk mem-follow up mediasi sengketa serta menunjukkan keseriusan kelompok kerja pertanahan Komisi II kepada masyarakat, eksekutif, dan swasta, dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa pertanahan.
7. Sebagian anggota Kelompok Kerja Pertanahan melakukan kunjungan kerja ke daerah lain yang terjadi sengketa pertanahan, diusulkan ke Provinsi Sulawesi Selatan saja.

Selasa, 05 Oktober 2010

MASALAH PEMILUKADA KABUPATEN FAK FAK 2010

Fakta
1. Berdasarkan Rakornis KPU Provinsi Irjabar, pelaksanaan Pemilukada di 7 (tujuh) Kabupaten/Kota akan diselenggarakan serentak pada 1 September 2010. Ketujuh Kabupaten tersebut adalah: Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Manokwari, Kab upaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Sorong Selatan
2. Pemilukada Kabupaten Fakfak diikuti oelh lima pasangan calon, yaitu: Said Hindom, S.E, M. Si-Ali Baham Temongmere, M. Tp, Muhammad Uswanas-Donatus Nimbitkendik, Hamid Kuman-Jimmy Nahuway, Latief Suery-Lajapa, Izak Bahamba-Drs. Firdaus Ahmad. Semua calon tersebut mayoritas berasal dari kalangan birokrat kecuali Lajapa yang berasal dari pensiunan TNI AL.
3. Pada 16 Agustus 2010, KPU Fakfak menyatakan belum siap melaksanakan Pilkada pada tanggal 1 September 2010, seperti direncanakan sebelumnya, maka diundur menjadi 26 September 2010. Perubahan jadwal dan tahapan proses dilakukan setelah evaluasi terakhir oleh KPU Fakfak.Pemerintah tidak kondusif di awal tahun 2010, terkait penganggaran dana Pilkada, karena itu beberapa tahapan tertunda hamper 2 bulan. Belum jelasnya Dana Pilkada, sementara Sidang Anggaran APBD 2010 telah disahkan DPRD Fakfak bulan awal bulan Maret 2010.
4. Pengunduran ini memunculkan pro dan kontra dikalangan kandidat:
a. Pasangan SAHABAT, mencurigai KPU tidak independen, juga mempertanyakan keabsahan Rapat Pleno KPU saat itu.
b. Calon Wakil Bupati Fakfak dari kandidat pasangan YONMA, Amin Ngabalin, justeru mendukung KPU Fakfak untuk merevisi jadwal Pilkada. Amin Ngabalin, menganggap telah terjadi pelanggaran oleh pasangan kandidat tertentu, yang jauh-jauh hari telah menyebut dirinya sebagai Calon Bupati/Wakil Bupati Fakfak 2010-2015 padahal saat itu belum ada keputusan KPU Kab. Fakfak tentang Penetapan Calon.
c. Kandidat Bupati dari Pasangan MODO, Mohammad Uswanas, juga mendukung perubahan jadwal tahapan. Menurut Uswanas, KPU Kab. Fakfak berwenang penuh menyelenggarakan Pilkada 2010, karena itu tidak perlu ada intervensi dari pihak luar.
d. Pasangan HAJI, sepakat dengan suara Tim Sahabat. Menurutnya, hanya force majoor yang dapat membatalkan atau mengubah rencana jadwal Pilkada.
e. Pasangan ALALA mendukung KPU Kab. Fakfak.
 
1. Hasil Quick Count Tim SAHABAT menunjukan kemenangan SAHABAT merebut 37% suara. Selebihnya berturut-turut diraih MODO (25%), HAJI (23%), YONMA (10%) dan ALALA (5%). Total suara sah hanya sekitar 35 ribu dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) 46.717 pemilih.
2. Belum didapatkan data hasil perolehan suara dari PPK dari berbagai sumber.
 
Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemeberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
 
Analisis
1. Merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terutama terkait dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada huruf  j disebutkan bahwa KPUD Kabupaten/Kota menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara.
2. Selanjutnya KPUD Kabupaten/Kota memiliki kewajiban untuk membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara yang kemudian dituangkan dalam keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mengumumkannya, serta  melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada KPU melalui KPU Provinsi.
3. Hal ini ditegaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pada Pasal 86 ayat (1) yang menyebutkan: setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPUD kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kabupaten/kota dan selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPK dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPUD kabupaten/kota membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPUD kabupaten/kota serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.
4. Merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 2007 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 (beserta perubahannya) maka proses penghitugan suara di tingkat KPUD Kab./Kota adalah penghitungan rekapitulasi PPK, bukan menghitung ulang dari kotak suara atau dari rekap PPS atau TPS. Bila penghitungan di KPUD Kab./Kota tidak berlandaskan rekapitulasi PPK, maka KPUD Kab./Kota dimaksud telah melanggar UU Nomor 22 Tahun 2007 dan PP Nomor 6 Tahun 2005.
5. Jika proses penghitungan suara sudah sesuai dengan tata urutan penghitungan, dimana KPUD Kabupaten/Kota melakukan penghitungan berdasarkan hasil rekap dari PPK, maka sudah dapat dipastikan hasil penghitungan KPUD Kab./Kota akan sama persis dengan hasil rekap PPK. Dan bila terjadi perbedaan, tapi berdasarkan hasil PPK, maka potensi perbedaan hanya dalam kisaran 1%.
6. Jika terjadi perbedaan hasil hitungan KPUD Kab./Kota dengan rekap PPK, maka ada kemungkinan:
a. Penghitungan KPUD Kab./Kota tidak berdasarkan hasil rekapitulasi PPK.
b. Terjadi kesalahan penghitungan yang mendasar dan fatal di PPK.
c. Terjadi penggelembungan suara di tingkat KPUD.