Sabtu, 09 Oktober 2010

Tanggapan terhdp bbrp masalah

Tanggapan terhadap Tembusan Surat DPRD Provinsi Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri mengenai kejelasan  status, hak dan kewajiban.

 

Fakta:

1. Pengaturan mengenai DPRD Provinsi memang mengalami kerancuan. Dalam rezim UU tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 19 ayat 2), DPRD diposisikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan Pemerintah Daerah artinya DPRD merupakan bagian dari eksekutif. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, artinya DPRD diposisikan sebagai legislatif sekaligus (unsur) eksekutif.
2. Begitu pula dalam rezim UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pada Pasal 291 DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah (dengan fungsi-fungsinya) yang juga berkedudukan sebagai unsur penyelengara pemerintahan daerah.
3. Kondisi ini menyebabkan posisioning DPRD menjadi ambigu antara pejabat daerah (ekuivalen dengan pejabat Negara seperti DPR) atau pegawai daerah (pegawai Negara).  Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing terkait masalah keuangan, sarana, dan protokoler.  
4. Keambiguan ini juga berdampak pada peraturan turunan dari undang-undang yang mengatur  DPRD. Ini terbukti terjadi pada PP 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang cenderung menempatkan DPRD sebagai pegawai Negara/daerah.
 

Rekomendasi:

5. Terkait dengan tembusan surat dari DPRD Provinsi Jawa Barat, tanggapan Fraksi Gerindra DPR RI adalah:
a. Memahami kondisi yangdialami DPRD dan mendukung upaya DPRD untuk meminta Kemendagri membuat peraturan yang jelas terkait dengan posisi anggota DPRD dalam rangka menjamin kepastian hokum.
b. Menindaklanjuti dengan mempertanyakan dan menegaskan permasalahan ini dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri.
c. Surat DPRD Provinsi Jawa Barat ini akan menjadi masukan dalam penyusunan revisi undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
d. Perlu dilakukan forum kordinasi nasional antar fraksi GERINDRA DPR RI dengan fraksi GERINDRA DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia sebagai wadah komunikasi Fraksi GERINDRA SE-INDONESIA.
   



 

Tanggapan terhadap surat Persatuan Perangkat Desa Indonesi (PPDI)

 

Fakta:

1. Rancangan Undang-Undang tentang Desa masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2010.
2. Pasal 202 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bawa Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
3. PPDI menolak diskriminasi antara sekretaris desa (yang PNS) dengan perangkat desa lain.
 

Rekomendasi:

4. Ide dasar dari Pasal 202 ayat (3) yang menempatkan Sekretaris Desa dari PNS ini lebih didasarkan agar tercipta manajamen administrasi pemerintahan desa yang teratur dan terstandarisasi. Karenanya dibutuhkan manajer kantor pemerintahan desa, sama seperti halnya Sekda di Kabupaten/Kota. Ini kemudian diejawantahkan dengan dilakukannya pengangkatan Sekdes menjadi PNS yang kedepannya semua Sekdes adalah PNS.
5. Terkait dengan surat PPDI tersebut, Fraksi GERINDRA direkomendasikan untuk:
a. Menerima dan memperhatikan dengan baik usulan dari PPDI terkait dengan rencana pembahasan RUU tentang Desa.
b. Masukan dari PPDI dan dari stake holder pemerintahan desa lainnya akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi Fraksi Gerindra dalam pembahasan RUU tentang Desa.
c. Perlu kordinasi dengan fraksi lain dalam rangka penyikapan usulan ini. Kalaupun perlu tanggapan tertulis, wording-nya seperti Fraksi PKS.


 

Tanggapan terhadap Surat Penolakan SPPBE oleh Warga Desa Mandalawangi, Cipatat, Bandung.

 

Fakta:

1. Akan dibangun Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) di Kampung Kiara, Desa Mandalawangi, Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
2. SPPBE dibangun diatas lahan sawah produktif seluas 1,5 hektare dan berada dikawasan pemukiman penduduk yang padat.
3. Warga Desa Mandalawangi merasa tidak aman dengan rencana pembangunan SPPBE ini, selain juga warga merasa tidak dilibatkan dalam rencana tersebut.
4. Pemerintah Kecamatan Cipatat telah menghentikan sementara pembangunan SPPBE sejak awal Agustus 2010 karena perizinan yang belum lengkap dan adanya penolakan dari warga sekitar.
 

Rekomendasi:

5. Pembangunan tempat usaha dalam berbagai bentuknya, apalagi SPPBE, harus mendapatkan izin, melibatkan dalam proses pembangunan SPPBE, dan memberikan kesempatan warga sekitar untuk menjadi pekerja dalam SPPBE tersebut, sehingga keberadaan tempat usaha atau SPPBE memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
6. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan alasan apapun sedemikian rupa harus dihindari. Pemaksaan konversi lahan pertanian harus ditolak secara tegas mengingat dampaknya pada ketersedian pangan dikemudian hari.
7. Fraksi Gerindra DPR RI direkomendasikan untuk:
a. Mendukung upaya penolakan penggunaan lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian yang dilakukan oleh warga Desa Mandalawangi.
b. Fraksi atau anggota DPRD Gerindra di DPRD Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Bandung Barat harus proaktif menangani masalah ini dengan supervise dari anggota Fraksi Gerindra DPR RI Dapil Bandung Barat.  


 

Mediasi Sengketa Tanah di Gunung Kempeng, Bontang, Kalimantan Timur

 

Fakta:

1. Kelompok Tani Gunung Kempeng mengklaim tanah dengan luas ratusan hektar yang kini dikuasai PT Pupuk Kaltim tanpa mendapatkan ganti rugi sedikit pun.
2. Tanah tersebut merupakan tanah ulayat yang dijadikan menjadi tanah Negara kemudian dikuasai oleh PT Pupuk Kaltim.
3. PT Pupuk Kaltim berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan.
4. Pada 15 Juni 2010, kelompok kerja Pertanahan Komisi II telah melakukan kunjungan kerja ke Bontang dan membantu melakukan mediasi terhadap masalah sengketa tanah ini.
 

Rekomendasi:

5. Mediasi untuk mendapatkan win-win solution harus dikedepankan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
6. Karena kelompok kerja pertanahan sudah melakukan kunjungan kerja ke Gunung Kempeng, maka kalau pun ada kunjungan kerja ke lokasi yang sama dilakukan oleh satu dua orang anggota saja. Kunjungan kerja II ini lebih ditekankan untuk mem-follow up mediasi sengketa serta menunjukkan keseriusan kelompok kerja pertanahan Komisi II kepada masyarakat, eksekutif, dan swasta, dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa pertanahan.
7. Sebagian anggota Kelompok Kerja Pertanahan melakukan kunjungan kerja ke daerah lain yang terjadi sengketa pertanahan, diusulkan ke Provinsi Sulawesi Selatan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar